Regulasi, Birokrasi, dan Reformasi


Akbar Faizal ~ Anggota Komisi III DPR RI

PRESIDEN Joko Widodo mener bitkan paket kebijakan ekono mi melalui tiga langkah. Salah satunya mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Ada 89 peraturan yang dirombak dari 154 yang masuk ke tim ekonomi, yaitu 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri, dan 5 aturan lain (Kompas, 9/9). Mengapa sedemikian banyak peraturan yang akan dirombak? Peraturan pada hakikatnya dibuat untuk menciptakan keteraturan. Peraturan jika diberikan dalam batas dosis yang tepat, niscaya akan menghadirkan harmoni. Sebaliknya, jika overdosis, justru menciptakan penyakit birokrasi.




Panjang pendeknya alur birokrasi ditentukan dari sejauh mana regulasi mengaturnya. Makin banyak peraturan, makin panjang prosedur dan tahapan yang harus dilalui untuk sekadar mendapatkan tanda tangan dan legitimasi dari otoritas terkait.

Potret panjangnya alur birokrasi kita sudah bertahun-tahun dipaparkan ease of starting business index (indeks kemudahan memulai bisnis). Meski mengalami perbaikan, dalam riset yang dilakukan World Bank tersebut, posisi Indonesia masih jauh tertinggal, bahkan di kawasan ASEAN sekali pun. Indonesia hanya berada di peringkat 155, jauh dari Malaysia di peringkat 13.

Bayangkan, seorang pebisnis yang ingin memulai usahanya di Indonesia membutuhkan waktu hingga 52 hari karena harus melahap 10 tahap prosedur. Padahal, di Malaysia hanya butuh 5 hari dengan 3 tahapan prosedur. Di seluruh dunia, birokrasi terbaik berada di New Zealand yang hanya memakan waktu setengah hari karena hanya ada 1 prosedur.

Kondisi ini disebabkan kita memproduksi peraturan secara berlebihan. Pada rezim pemerintahan sebelumnya, menurut data yang ada di situs Sekretariat Kabinet, pemerintah memproduksi 875 peraturan pemerintah dan 1.038 peraturan presiden. Jumlah ini belum termasuk peraturan yang dikeluarkan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Pasalnya, tak jarang, baik UU, PP, maupun perpres akan melahirkan `anak, cucu, dan cicit' dari peraturan itu sendiri.

Di level eksekutif, jauh lebih tidak terkontrol karena secara kewenangan bisa dikeluarkan eksekutif tanpa persetujuan legislatif. Reformasi birokrasi tanpa reformasi regulasi sama saja dengan omong kosong karena regulasi ialah anak kandung birokrasi. Tanpa melakukan hal ini, kita akan terus dihadapkan dengan ekonomi biaya tinggi, pungutan liar pada pelayanan publik, dan pemborosan anggaran karena harus ada pegawai yang digaji pemerintah. Kebijakan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) ialah langkah yang baik karena memindahkan loket-loket pengurusan perizinan ke satu tempat. Namun, itu tak cukup jika tidak diimbangi dengan pemangkasan jumlah izin nya. Pasalnya, karena di situlah akar masalah sesungguhnya. Pemangkasan jumlah izin akan terjadi jika peraturan yang menjadi dasar hukumnya dihapus atau dicabut. 

Pada 29 April 2015, Presiden Jokowi sebenarnya telah menandatangani dua buah keppres, yaitu Keppres Nomor 9 tentang Program Penyusunan PP Tahun 2015 yang berjumlah 151 buah dan Keppres Nomor 10 tentang Program Penyusunan Perpres Tahun 2015 yang berjumlah 92 buah. Meski sebagian besar merupakan warisan dan perintah delegasi dari UU, PP, dan Perpres, produk PP dan perpres yang akan dihasilkan harus diantisipasi agar jangan sampai menjadi ‘jebakan batman’ yang justru akan melahirkan prosedur tambahan dalam birokrasi yang tidak perlu.

Pemerintahan Jokowi memang relatif tidak memiliki pilihan mewah selain mematuhi perintah UU dan turunannya itu. Agar tak terulang, menjadi penting untuk menerapkan kebijakan yang sifatnya preventif guna menghindari ‘infl asi’ regulasi dalam konteks birokrasi perizinan.

Pertama, secara selektif melakukan perubahan pengaturan dari rezim perizinan menjadi rezim pendaftaran. Harus diakui pemerintah di titik tertentu masih memerlukan wewenang pemberian izin sebagai bentuk kontrol terhadap aktivitas bisnis. Selain sebagai kontrol, pemerintah juga memerlukan data sebagai bahan pengambilan kebijakan. Nah, pada level keperluan pendataan inilah, pemerintah bisa menyiasatinya dengan menerapkan rezim pendaftaran, bukan perizinan. Potensi penyimpangan akan menurun karena pelaku usaha tidak membutuhkan lampu hijau dari pemerintah untuk urusan tertentu, tetapi cukup mendaftarkan saja dan seketika kewajiban hukumnya menjadi gugur.

Kedua, terapkan e-government pada setiap birokrasi perizinan. Salah satu faktor penyebab lambatnya mendapatkan tanda tangan pejabat ialah dokumen harus berpindah dari satu meja ke meja lain yang sungguh tidak efi sien. Di level kementerian, misalnya, alur dokumen dari meja menteri bisanya akan turun ke dirjen, lalu dari dirjen ke direktur, dari direktur ke kasubdit. Lalu, dari kasubdit ke kasi, dari kasi ke staf untuk ditelaah. Selanjutnya, jika telah selesai, dari staf naik lagi sampai ke level menteri untuk ditandatangani.

Padahal, dengan sistem online, ham batan ini bisa diatasi dengan cepat plus efi sien karena paperless. Toh, kita telah memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ketiga, mengurangi pembentukan peraturan pemberian delegasi kepada peraturan yang lebih rendah.

Hal ini dilakukan guna menghadiri pemberian ‘cek kosong’ kepada pemerintah sekaligus membatasi lahirnya prosedur baru di luar kontrol undang-undang. Fakta saat ini, tanpa delegasi sekali pun, sudah banyak peraturan yang dibentuk secara mandiri tanpa delegasi peraturan di atasnya.

Keempat, memperbanyak delegasi untuk menandatangani keputusan dari level menteri/pimpinan lembaga kepada bawahannya. Dengan demikian, beban kerja yang sifatnya rutin menjadi berkurang sehingga pimpinan dapat melakukan tugas lain yang lebih strategis. Namun, hal ini tetap harus dilakukan secara selektif dan dilapisi dengan supervisi.

Keempat langkah preventif ini penting dilakukan agar kita tidak menjadi produsen peraturan belaka tanpa menghadirkan kesederhanaan birokrasi. Tidak boleh lagi ada praktik jargon ‘kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?’ Sudahlah, zaman jahiliah sudah berlalu.

sumber: media indonesia



0 komentar:

Posting Komentar